Kamis, 09 Desember 2010

Menakar Potensi Seni Budaya Tradisional Betawi

Kebudayaan Betawi dapat tegak berdiri dan sejajar, bila semua pihak terutama  pemerintah daerah memberi dukungan serta perhatian serius terhadap seni dan budaya Betawi. Bila tidak, kesenian betawi perlahan-lahan akan meredup dan hilang dengan sendirinya.

Sejak zaman perjuangan Jakarta memang dikenal memiliki pelabuhan terbesar yang bernama Sunda Kelapa. Ditempat inilah awal terjadinya interaksi berbagai suku bangsa yang berbeda etnik, baik dari berbagai daerah di nusantara maupun dari manca negara. Sejak pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai oleh Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Fatahillah pada abad 16, Jakarta terus disingggahi oleh berbagai suku bangsa, seperti Portugis, Arab, Cina, dan Belanda. Benturan kepentingan yang dilatarbelakangi oleh berbagai budaya tidak bisa dihindari. Melting Pot (percampuran kelompok etnik) membuahkan dinamika kebudayaan baru. Budaya inilah yang merupakan cikal bakal dari kehidupan bermasyarakat masa kini di Jakarta atau yang lebih akrab dengan julukan Betawi.

Tak heran bila, Kebudayaan Betawi lebih didominasi oleh kebudayaan Melayu. Hal tersebut tampak dapat dilhat  dari kawasan tengah hingga pesisir Jakarta terasa kuat pengaruh melayu, semakin ke pinggir yang menonjol justru pengaruh Sunda. Ada terdapat perbedaan dialek antara Tengah dan pinggir. Lidah penuturan Melayu Tengah yang dipentaskan dalam sinetron Bajaj Bajuri merupakan perubahan yang terjadi setelah tahun 1940. Pada tahun-tahun sebelumnya lidah penuturan Melayu Tengah tidak berbeda dengan Melayu Riau dan Semenanjung seperti dapat disaksikan pada film-film yag diproduksi pada tahun 1925-1940. Sisa-sisa lidah penuturan asli masih dapat ditemukan di daerah Tanah Abang.

Tengok saja, pada dekade 1970 pemerintah kota Jakarta dalam acara-acara resminya hanya menampilkan kesenian Sunda. Kesian Melayu Betawi tidak mendapat tempat. Meski pun sejak tahun 1958 ada usaha membangkitkan pergerakan masyarakat Betawi, tetapi usaha ini tidak banyak membawa hasil.

Berdirinya Taman Ismail Marzuki di Jakarta sebagai arena pertunjukkan kesenian sejak tahun 1969 dimanfaatkan sastrawan S.M. Ardan untuk membangkitkan teater tradisional lenong. Usaha ini menampakkan hasil yang sangat di luar dugaan. Ribuan penonton memenuhi TIM menyaksikan pertunjukkan lenong. Sukses ini dilanjutkan seniman Benyamin S dengan menampilkan gaya Melayu Betawi dalam rekaman musik dan film. Masyarakat Indonesia mulai memperhitungkan eksistensi suku bangsa Melayu Betawi.

Betawi Kaya Budaya


Ada berbagai  jenis kesenian tradisional Betawi yang ada di masyarakat perlu dipertahankan untuk  dilestarikan, diantaranya, seni tradsional Cokek, Belenggo,   Zapin, Wayang Betawi, Samrah, Uncul dan Pencak Silat. Termasuk di dalanya seni teater/peran tradisonal Betawi, seperti Ondel-ondel, Gemblokan, Buleng, Sahibulhikayat, Rancaq, Topeng,  Jipeng, Lenong, Dermuluk, dan lain sebagainya.

Untuk seni musik tradisional, Betawi punya Gambang Kromong, Tanjidor, Orkes Gambus, Keroncong Tugu, Gemalan Topeng, Sampyong, Musik Marawis, Gamelan Ajeng, dan Rebana (ketimpring, ngarak, maukhid, hadroh, dor, qasidahburdah, biang).

Selain budaya asli Betawi, di daerah pimpinan Gubernur Fauzi Bowo ini juga tumbuh dan berkembang beragam jenis kesenian daerah dari penjuru tanah air,  seperti Tari Ronggeng blantek, Tari Lenggo Jingke, Tari Legong Kraton, Tari Panyembrame, Tari Tlenjeng, Tari Jaipong, Tari Rampak Gendang, Tari Rantak, Tari Bambangan Cakil, dan Tari Payung.

Tak hanya kesenian, ternyata batik menjadi bahan pakaian yang popular di kalangan penduduk Betawi laki-laki pada paruh akhir abad XIX, terutama di wilayah budaya Betawi Tengah. Mereka bercelana batik seperti halnya orang Belanda. Celana batik sebagai pakaian sehari-hari di rumah bersaing dengan sarung batik corak plekat. Motif plekat diilhami corak pakain Scot. Karena itu pada tahun 1931 terjadi seruan boykot terhadap plekat ketika terjadiu aksi anti Eropa di Hindia Belanda karena seorang pejuang Libya Sidi omar Muchtar digantung penjajah Italia di Tripoli.

Syekh Ahmad Syurkati kelahiran Dunggala, Sudan, menganjurkanagar kaum lelaki memakai kain corak hujan gerimis, yangkemudian hai corak ini dikenal sebagai Dunggala. Walhasil politisasi kain berujung pada makin popularnya penggunaan celana batik di kalngan laki-laki Betawi.

Demand terhadap batik makin meningkat yang mendorong tumbuhnya industri batik di Palmerah, kemudian hari berkembang hingga Karet Belakang, Setia Budi.

Batik Palmerah, atau disebut juga batik Tenabang, adalah batik pesisiran yang menggunakan warna-warna ceria. Batik Palmerah biasanya untuk pakaian sehari-hari. Untuk keperluan hajatan dan plesiran orang-orang Betawi Tengah memakai batik Jawa (Lasem).

Batik Jawa dikoleksi perempuan Betawi Tengah. Mereka yang “berada” juga mengoleksi batik Belanda. Batik koleksi tidak dikenakan, walau untuk hajatan.

Pada tahun 1920-an di kalangan perempuan Betawi terkenal keredong batik Lasem corakan lokcan/locan. Karedong ini disebut selendang lokcan/locan. Selendang lokcan/locan eks Lasem sebenarnya sudah diproduksi sejak akhir abad XIX, tetapi hanya kalangan terbatas saja yang memakainya.

Membatik disebut nembok yang berasal dari kata embok. Embok sebuah perkataan gender yang bermakna pekerjaan perempuan. Pekerja industri batik di Jakarta adalah perempuan.

Hancurnya industri batik Palmerah karena generasi penerus pemilik industri, yang lahir di awal tahun 1940-an, tidak ada yang berminat melanjutkan kegiatan industri lagi. Mereka tidak sanggup mengawasi industri yang sudah mulai bergiat sejak pukul 04.00.

Ada pun industri batik Setia Budi hancur karena modernisasi yang menuntut lahan. Dan lahan industri batik yang menjadi korban.

Inilah jenis kesenian kerajinan Betawi yang masih berpotensi untuk dilestarikan karena telah muncul generasi perupa seperti Daud (Yogya) dan Sarnadi (Betawi) yang berminat melestarikan batik Betawi.


Pemerintah Tak Tinggal Diam


Menurut Tatang, awalnya LKB ini didirikan oleh sekumpulan masyarakat betawi tahun 1975 silam lalu, melalui suatu forum lokakarya. Nah, dari situ kemudian oleh tim perumus dibentuklah  suatu wadah yang dianggap mampu membina dan melestarikan seni budaya tradisional betawi. Maka, pada tahun 1977 secara resmi LKB terbentuk melalui badan hukum yang kemudian diteruskan melalui Surat Keputusan ( SK) Gubernur DKI Jakarta kala itu (Alm) H. Ali Sadikin.

Jadi, saya kira peran yang dimainkan oleh pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta untuk memberi perhatian terhadap kesenian Betawi cukup besar. ”Salah satu wujud perhatian dan kepedulian dari Pemerintah DKI Jakarta adalah dengan dibentukanya LKB yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 197 Tahun 1977,” ungkap Tatang Hidayat yang belum lama ini dikukuhkan sebagai Ketua LKB periode 2009-2012 oleh Gubernur DKI Jakarta Dr.Ing. Fauzi Bowo.

Gubernur Fauzi Bowo, bahkan mendesak agar pengurus LKB baru bisa menuntaskan pembebasan lahan di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Jagakarsa Jakarta Selatan. Termasuk dituntut dituntut untuk memperkenalkan budaya Betawi ke mancanegara.

Diakhir amanatnya, Gubernur Fauzi Bowo mengaku senang dengan adanya kepengurusan baru LKB di bawah ketua umum Tatang Hidayat yang bersifat defenitif. “Bekerja untuk organisasi ini, jangan setelah terbentuk kepengurusan malah cari urusan (ribut),” ujar Foke, belum lama ini. ”Ke depan ia berharap agar kepengurusan LKB baru ini mampu mengangkat dan mempertahankan kemajuan budaya Betawi hingga diperhitungkan baik di tingkat nasional maupun internasional,”pungkasnya. (Abdul Syukur)

0 komentar:

Posting Komentar