Kamis, 09 Desember 2010

Sajian Makanan Betawi Pinggiran

Untunglah ada orang-orang seperti Robbi Darwis (32), anak Betawi asli yang masih mau memperlihatkan perhatian pada tanah kelahirannya. Untuk itu dia membuka Rumah Makan Betawi Ora yang ada di kawasan Ciledug. Menu yang ditampilkan sudah pasti makanan Betawi, terutama yang sudah hampir punah.
Menurut Robbi, menu yang ditampilkan mengkhususkan pada makanan orang Betawi pinggiran. Seperti diketahui Betawi itu terbagi atas Betawi tengah atau Betawi Kota dan Betawi pinggiran.
Yang termasuk Betawi tengah atau Betawi Kota dapatlah disebutkan kawasan yang pada zaman akhir pemerintahan penjajahan Belanda termasuk wilayah Gemeente Batavia, kecuali beberapa tempat seperti Tanjungpriok dan sekitarnya.
Sedangkan daerah-daerah di luar kawasan tersebut, baik yang termasuk wilayah DKI Jakarta, apalagi daerah-daerah di sekitarnya, merupakan wilayah Betawi pinggiran yang pada masa-masa yang lalu oleh orang Betawi tengah suka disebut Betawi Ora. Yang termasuk wilayah Betawi pinggiran antara lain Ciledug, Ciputat, Pamulang, Pondokaren, Jombang, Cengkareng.
Bagaimana makanannya? "Dari segi rasa cenderung lebih menyukai asin, asam dan gurih. Kalau bumbunya asal cemplung, diiris, dan hanya memakai feeling saja, asal tabrak. Jadi menghasilkan rasa yang unik," ujar Robbi.
Ada juga makanan yang dipengaruhi oleh budaya Cirebon. Seperti nasi ulam bumbu sawur yang terdiri dari nasi gurih yang terdiri dari nasi gurih yang sudah dibumbui jahe, sereh, dan daun salam. Lalu nasinya ditutupi dengan serundeng (bumbu sawur). Dimakan dengan teri kacang asin (khas pesisir), orek tempe, telur cladar serta ada tambahan pilihan lauk seperti ayam, empal, iso babat, ati ampela atau udang. Konon, makanan ini kesukaan Sultan Hasanuddin, anak dari Sunan Gunung Jati yang kemudian membawa resepnya ke Banten.
Tersedia pula gecok lele. Ikannya dibakar terlebih dahulu kemudian diberi bumbu gecok (tumbuk) berupa kencur, bawang, kemiri, cabai dan santan. Atau yang unik lagi, kepala kakap merah bumbu krecek. Meski tampilannya rada kental tapi dimasaknya tanpa menggunakan santan. Rasa asamnya lebih dominan karena menggunakan belimbing sayur dan sedikit rada pedas.
Salah satu yang paling populer dan rada sulit dicari adalah pucung gabus yang memakai kuah bumbu keluwek, biasa dipakai untuk rawon. Pasalnya, ikan gabus ini memang agak sulit ditemui. Tidak lupa juga disediakan pecak dan pindang bandeng.

Picung Gabus
"Kami juga menyediakan sayur besan. Jarang juga orang masak ini kecuali ada pesta atau selamatan. Tapi memang tidak selengkap dulu, hanya ada kentang, bunga kol, bihun, dan santan. Zaman nenek saya, ada tambahan telur tebu yang sekarang sudah sangat langka," papar pria yang bertugas di kepolisian itu.
Beberapa lauk pauk tersebut sudah tersedia dan disajikan di atas piring dari tanah liat yang dialasi daun pisang. Pengunjung tinggal membuka dan memilihnya. Tinggal nanti juru masak akan menghangatkannya lagi.
Kecuali untuk nasi ulam bumbu sawur dan sop betawi harus diracik dan digoreng lauknya. Berbagai jenis sambal yang dihidangkan di dalam wadah tanah liat siap menemani semua masakan tersebut. Ada sambal terasi, sambal bajak, sambal kemiri, sambal tomat, sambal pete.
Semua masakan tersebut, menurut Robbi, biasa dimasak oleh para nenek yang biasa memasak untuk acara hajatan. Dan kemudian mereka mengajarkan pada anak-anak Meski dirinya tidak bisa memasak, namun tetap ingin melestarikan makanan-makanan tersebut. "Sebagai generasi penerus kalau memang ingin mengembangkan budaya Betawi yah harus terus menonjolkan kesenian dan kulinernya sehingga bisa dikenal sampai seterusnya," ujar pria yang suka bernyanyi ini.

Kental Nuansa Betawi
Memasak dengan filosofi
Untuk minumannya, ada es selendang mayang. Terbuat dari tepung beras yang diberi warna merah, putih dan hijau. Lalu diberi kuah santan clan gula merah. Es ini juga sudah cukup langka, hanya di daerah pinggiran Jakarta yang masih menjualnya dan kebanyakan penjualnya orang-orang tua.
Biasanya es selendang mayang ini biasa muncul pada acara sedekah cendol. Dibagibagikan ke masyarakat. Robbi menuturkan, misalkan dalam satu keluarga ada yang sedang hamil bersamaan maka untuk keselamatan si jabang bayi dan ibunya dibuatlah selendang mayang tersebut.
Mayang itu melambangkan Dewi Sri yang berarti kemakmuran, maka ada tepung beras. Warna hijau yang terbuat dari daun sup yang berarti kembali ke alam, melambangkan gemah ripah. Warna merah melambangkan kejayaan dan berwibawa, serta putih berarti suci dan beriman.
Masyarakat Betawi Ora ini masih menganut adat-adat yang menyangkut filosofi, sehingga dalam membuat makanan harus ada hal yang dipahami, seperti saat membuatnya pada jam jam tertentu agar sesuai dengan filosofi yang dibawa Sunan Gunung Jati," jelas Robbi.
Juga ada teh betot, sekilas mirip dengan teh tarik tapi rasanya beda. Teh betot ini menggunakan campuran gula cair, daun jeruk dan susu kental manis. Menimbulkan aroma yang wangi. Tehnya pun terdiri dari beberapa racikan daun teh.
Satu lagi jenis kudapan yang sudah sangat langka, oblang duren. Daging duren matang dimasak dengan santan dan gula merah hingga mengental. Lalu dimakan dengan ketan kukus. Sungguh nikmat.
Makan di warung ini layaknya makan di warung biasa. Meja dan bangku panjang tanpa sandaran membuat suasana jadi lebih santai. Di setiap mejanya disediakan air kendi yang sangat segar. Air kendi ini juga pengaruh dari Cirebon.
Pelawak Petrix penggemar masakan Betawi Ora
Warna hijau mendominasi seluruh ruangan. Di dinding terpampang foto wajah dari Bang Pelor, ayahnya Robbi yang juga merupakan tokoh ternama di Tangerang. Serta beberapa foto kegiatan dan komunitas Betawi Ora.
Dari segi harga cukup terjangkau, sayur besar Rp 6.000 per porsi, nasi ulam bumbu sawur Rp 15.000, pecak lele Rp 12.000 per ekor, pucung gabus Rp 15.000 per ekor, kakap Rp 25.000 per kepala, pecak bandeng Rp 10.000, teh betot Rp 10.000 per gelas jumbo, es selendang mayang Rp 5.000, oblang duren Rp 10.000.
(DBS)

0 komentar:

Posting Komentar